Petani Jambi Jalan Kaki 1000 Km menuju Istana Negara
menuntut hak untuk menggarap lahan (Dok : TribunNews)
|
Tanah Untuk Rakyat!
Di Indonesia, sumber kemiskinan
dominan disumbangkan oleh ketimpangan atas tanah. Ini terjadi karena sistem
agraria, khususnya tata-kelola hutan kita sangat berpihak kepada kepentingan bisnis besar.
Sedangkan rakyat,
termasuk masyarakat adat, disingkirkan dari tata-kelola hutan tersebut.
Dari 200 juta Hektar luas daratan
Indonesia, 70 persen adalah sektor kehutanan, yang sebagian besar dikuasai oleh
segelintir pebisnis swasta dan asing. Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menyebutkan, lebih dari
35 persen daratan Indonesia dikuasai oleh hanya 1.194 pemegang kuasa
pertambangan, 341 kontrak karya pertambangan, dan 257 kontrak pertambangan
batubara.
Menurut Konsorsium Pembaharuan
Agraria (KPA) untuk sector kehutanan, lebih dari 49 juta hektar hutan Indonesia
diserahkan pengelolaannya kepada korporasi: 25 juta Hektar IUPHHK Hutan Alam, 9,3 juta Hektar untuk HTI, dan 15
juta Hektar untuk HGU. Sedangkan hutan murni yang tersisa, tinggal
40 juta Hektar.
Laporan WALHI (Wahana Lingkungan Hidup) menyebutkan, dari sekitar 39 juta hektar izin
pemanfaatan hutan yang dikeluarkan Kemenhut RI, hanya 189 ribu Hektar yang
jatuh ke Hutan Tanaman Rakyat (HTR), 30 ribu Hektar untuk Hutan Kemasyarakatan
(HKM), dan 19 ribu Hektar untuk Hutan Desa. Artinya, pemanfaatan hutan
yang jatuh ke rakyat tak lebih dari 200 ribu Hektar. Sedangkan 38 juta Hektar
lebih (99%) diserahkan ke korporasi.
Selain itu, sekitar 19 ribu desa/dusun definitive di Indonesia berada di kawasan
hutan negara. Catatan tahun 2004 menyebutkan, sekitar
48,8 juta penduduk Indonesia bergantung dan menempati kawasan hutan, dimana
10,2 juta orang adalah miskin, atau sekitar 70 persen dari jumlah orang miskin
dipedesaan yang mencapai 14,6 juta jiwa.
Petani Jalan Kaki 1000 Km memasuki
Kota Palembang (Dok : TribunNews)
|
Penguasaan tanah semakin timpang oleh kebijakan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi
Indonesia (MP3EI). Inilah yang kami sebut “tata ruang kolonial” sebab peruntukan untuk alokasi pertambangan
saja untuk segelintir pengusaha mencapai 1.1 Juta Hektar atau setara dengan
peruntukan lahan untuk 3 juta jiwa masyarakat Jambi.
Inilah yang menyebabkan petani Jambi melakukan aksi
pendudukan di depan Kementerian Kehutanan (Kemenhut) RI, yang sudah memasuki hari
ke 53. Sedangkan aksi long-march
petani Jambi ke Istana sudah menempuh jarak 670 Kilometer, di Lampung Tengah.
Para petani menilai bahwa Menteri Kehutanan Zulkifli
Hasan menghambat distribusi tanah ke rakyat. Sebab program distribusi HTR di Jambi dari areal yang
dicadangkan sebesar 38.963 Hektar, yang
baru terealisasi terealisasi baru 3.843 Hektar. Selain itu, pihak Kemenhut
pernah menolak rekoemendasi
Pemda Batanghari, pada tahun 2008, terkait usulan HTR lahan bekas HPH PT. Asialog seluas
29.320 Hektar.
Dari situasi tersebut dapatlah kita
mengambil kesimpulan bahwa eksploitasi hutan yang terjadi selama ini hanya menguntungkan
kepentingan pebisnis besar, dan
juga penyumbang krisis ekologi (deforestasi). Karena itu, komersialisasi
kawasan hutan harus dihentikan.
Untuk itu, tata-kelola hutan perlu diubah agar menjamin
kepentingan memakmurkan rakyat. Pemerintah perlu memperluas “akses” rakyat atas
pengelolaan dan pemanfaatan hutan.
Selain itu, untuk masyarakat adat Suku Anak Dalam (SAD)
113, berdasarkan pertemuan dengan pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI,
menyepakai tuntutan masyarakat adat. Proses enclave
ini akan dimulai dengan pendaftaran tata-batas lahan konsesi PT. Asiatic
Persada sesuai lahan seluas 3.550 Hektar sesuai dengan peta micro.
Hak “akses” tanah untuk rakyat, telah dijamin didalam
regulasi. Pemerintah berkewajiaban mendistribusikan aset (tanah) kepada rakyat
sebagaimana amanat konstitusi Pasal 33 UUD 1945, UU Pokok Agraria Nomor 5 Tahun
1960, dan produk undang-undang lainnya.
Maka dari itu, kami mengajukan tuntutan sebagai berikut:
1. Menuntut
kepada Pemerintah untuk konsisten dan setia menjalankan perintah konstitusi:
Pasal 33 UUD 1945.
2. Menuntut
kepada Pemerintah untuk segera melaksanakan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)
tahun 1960.
3. Menuntut
pengembalian tanah: masyarakat adat Suku Anak Dalam (SAD) 113 seluas 3.550 Hektar,
4. Menuntut
pengembalian tanah petani Kunangan Jaya II (Batanghari) seluas 7.489 Hektar,
dan petani Mekar Jaya (Sarolangun) seluas 3.482 Hektar.
Demikian
pernyataan sikap ini kami buat. Atas solidaritas dan pembelaan pada rakyat,
kami mengucapkan terimaksih.
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !