CITA-CITA “REPUBLIK” (Indonesia)
Demokrasi, ialah suatu kata yang selalu disalahgunakan rezim
untuk memperoleh dukungan rakyat. Rezim diktator militer era Soeharto (Orde
Baru) pun selalu menggunakan kata “demokrasi” untuk selalu mendapat dukungan
rakyat.
Gambar : rinaldimunir.files.wordpress.com |
Pengaturan perekonomian pada masa Orba sudah menyimpang dari
sistem perekonomian Pancasila, seperti yang diatur dalam Pasal 33 UUD 1945.
Saat itu Pemerintah Orde Baru berusaha menjadikan Indonesia sebagai negara
industri, tanpa memperhatikan masyarakat agraris, dan pendidikan masih rendah.
Sehingga yang terjadi adalah berkembangnya ekonomi kapitalis yang dikuasai para
konglomerat dengan berbagai bentuk monopoli, oligopoli korupsi, dan kolusi.
Rezim tersebut dijatuhkan oleh gerakan reformasi, gerakan
yang dimotori mahasiswa dan pemuda itu menuntut adanya perubahan-perubahan
diantaranya perubahan konstitusi yang dipandang belum cukup memuat landasan
bagi kehidupan demokratis dan tidak berkedaulatan rakyat.
Gambar : lifeschool.files.wordpress.com |
Konsep Negara Republik tentunya akan selalu setia pada
konsep teorinya, yaitu konsep demokrasi. Dengan kata lain, pemegang kedaulatan
tertinggi atas negara adalah rakyat.
Jatuhnya rezim Soeharto, yang kemudian diharapkan menjadi
titik perubahan terbentuknya negara yang berkedaulatan rakyat dan lebih
demokratis nampaknya nyatanya tidak sesuai dengan harapan. Lagi-lagi kata “demokrasi”
disalahgunakan oleh rezim, pengertian “demokrasi” lebih diartikan sebagai
“kebebasan”. Sehingga sandarannya semakin menjauhi kedaulatan rakyat.
Label demokrasi pada rezim SBY telah membuka peluang kepada
para pengeruk kekayaan alam Indonesia untuk kekayaan pribadi dengan penyebutan
halus investor. Bahkan tak jarang para investor ini justru merenggut hak-hak
rakyat. Rakyat Indonesia pra Kemerdekaan 1945 menyebut investor seperti ini
dengan sebutan Company (baca : kompeni). Company dalam Kamus Inggris-Indonesia
adalah Perusahaan. (selanjutnya penulis menggunakan kata kompeni untuk
penyebutan investor).
“Kalau kita mencari demokrasi hendaknya bukan demokrasi
barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup yakni politik economische
democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial!”
(Ir. Soekarno, Sidang BPUPKI, 1 Juni 1945)
Pidato Presiden Soekarno kala itu semakin memperjelas bahwa
rezim saat ini semakin menjauhi semangat kemerdekaan. Pergumulan pemerintah
dengan investor tidak mampu mendatangkan kesejahteraan sosial, akan tetapi
justru mendatangkan konflik-konflik sosial. Hal ini di perparah ketika negara
(pemerintah) justru melindungi kepentingan para kompeni dengan produk-produk
hukum. Dan sekali lagi saya katakan, hal ini semakin menjauhkan rakyat dari
kesejahteraan sosial.
Indonesia, Negara Hukum
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 secara tegas menyatakan Negara
Indonesia adalah Negara Hukum.
Apa yang ada di dalam benak anda...??
“Negara Indonesia adalah Negara Hukum.”
Dalam konsep Negara Hukum, maka yang menjadi acuan Negara
Indonesia adalah HUKUM. Bukan pemerintah, bukan politik dan bukan ekonomi.
Pemerintah adalah hukum sebagai sistem.
Negara hukum tidak diatur oleh Pemerintah, akan tetapi
pemerintah hanya bertindak sebagai boneka dari skenario sebuah sistem yang
mengatur.
Pertanyaan selanjutnya adalah, Hukum yang mana...??
Masih di Pasal 1, yaitu ayat (2) UUD 1945, dengan tegas
menyatakan :
“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar.”
Jadi hukum yang menjadi sistem pengatur Negara sesungguhnya
adalah Rakyat sebagai pemegang kedaulatan, dan yang menjadi koridor
pelaksanaannya adalah Undang-undang Dasar, dan Pemerintah hanya berfungsi
sebagai sistem untuk tujuan rakyat yang berdaulat.
Republik, Hukum Kolonial (saat ini)
Hukum nasional harus mengabdi kepada kepentingan rakyat
dengan mewujudkan asas dan tujuan nasionalnya. Lembaga hukum nasional harus
tunduk kepada Undang-undang Dasar. Segenap keputusan hukum harus mengabdi
kepada terwujudnya kehendak rakyat.
Namun pemerintah justru berfungsi sebagai pencipta regulasi
yang justru melindungi kompeni, hukum di ciptakan dengan tujuan memuluskun
gerak para kompeni. Semua regulasi hukum yang baru hanya berpihak kepada yang
memiliki modal, tidak lagi berpihak kepada rakyat.
Adapun contoh Undang-Undang yang dimaksud seperti : Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan; Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing;
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan; dan UU Nomor 2 Tahun 2012
Tentang Pengadaan Tanah.
Semua produk Undang-Undang tersebut gagal memberikan
keadilan sosial yang menjamin kebutuhan rakyat untuk mencapai kesejahteraan
sosial. Sebaliknya, regulasi yang berwatak kolonial tersebut memberikan ruang
kriminalisasi terhadap rakyat yang ingin memperjuangkan hak-hak
konstitusionalnya. Tidak ada penguasa terancam hukum, yang ada kekuasaan
mengancam rakyat sebagai bangsa yang dijajah dengan hukum penjajahan.
Hukum dengan pasal-pasal dan juncto-junctonya semua
diarahkan untuk mengancam rakyat. Tidak ada hukum kolonial yang mengancam
Bupati, mengancam Gubernur, mengancam Menteri sampai Presiden.
Gambar : ramalanintelijen.net |
Jadi kalau sekarang ini ada istilah “penegak hukum”,
aparat-aparat penegak hukum berarti menegakkan hukum kolonial, melindungi
aset-aset kompeni. Tidak lagi berperan sebagai penjaga kekayaan alam yang
seharusnya di pergunakan hanya untuk kemakmuran rakyat (Sebagaimana amanat
Pasal 33 UUD 1945). Penegak hukum yang menegakkan hukum kolonial tersebut
nantinya akan berhadapan dengan rakyat yang menyadari dirinya terjajah.
Seperti yang baru-baru ini terjadi, Penangkapan terhadap
aktivis dan petani yang sedang berjuang mempertahankan haknya, seperti di Pulau
Padang (Riau), di Blitar (Jawa Timur), di Betung (Sumatera Selatan), dan di
daerah lainnya di Indonesia, merupakan bentuk kriminalisasi terhadap perjuangan
rakyat. Tak ubahnya seperti kekuasaan kolonial tempo dulu yang memandang
perjuangan rakyat untuk keadilan sebagai pemberontak, ekstrimis, provokator,
dan berbagai stempel sejenis lain.
Mari, bersama-sama mewujudkan apa yang telah dicita-citakan
para pendiri bangsa. Dengan mengawal Pemerintah untuk melaksanakan Pasal 33 UUD
1945 untuk kemakmuran rakyat dan kedaulatan bangsa.